Masa remaja adalah masa
pencarian jati diri dimana otak dan kepala para remaja ini mengalami beberapa
perubahan yang perlu diperhatikan. Dalam masa peralihan dari masa anak-anak ke
masa dewasa ini, remaja mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik serta
psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik postur tubuh ataupun cara berfikir
atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Perubahan-perubahan ini dapat
dilihat dari perilaku remaja yang acapkali penuh drama, tak rasional, dan
agresif tanpa alasan yang jelas. Di sisi lain, para remaja ini juga memiliki
kebutuhan yang besar akan kebebasan dan kasih sayang. Pada masa remaja
ini pula terjadi pertumbuhan otak secara drastis. Seperti dilansir LiveScience,
Rabu (3/10/2012), berikut adalah 10 perubahan yang terjadi pada otak para
remaja:
1. Otak
Dalam Tahap Perkembangan
Usia remaja kebanyakan ditentukan
pada rentang usia antara 11 – 19 tahun. Masa-masa ini dianggap sebagai masa
kritis pembangunan. Ketika melalui masa pertumbuhan ini, ketrampilan kognitif
dan kemampuan baru akan muncul.
“Otak terus berubah sepanjang waktu,
tetapi ada lompatan besar dalam perkembangannya ketika memasuki masa remaja.
Orangtua harus memahami bahwa meskipun anaknya tumbuh besar, pada tahap ini
remaja masih berada dalam masa perkembangan yang akan mempengaruhi kehidupannya
selanjutnya,” kata Sara Johnson, asisten profesor di Sekolah Johns Hopkins
Bloomberg of Public Health.
2. Otak
Mulai Mekar
Pada bayi, otak mengalami
pertumbuhan koneksi yang amat besar. Namun ketika memasuki usia 3 tahun,
beberapa sambungan tersebut kemudian dipangkas agar lebih lebih efisien.
Tetapi temuan
yang diterbitkan jurnal Nature Neuroscience menegaskan bahwa ledakan
pertumbuhan saraf terjadi untuk kedua kalinya tepat menjelang pubertas.
Puncaknya adalah saat usia sekitar 11 tahun untuk anak perempuan dan 12 tahun
untuk anak laki-laki. Perkembangan ini diperkirakan terus berlanjut hingga usia
25 tahun. Beberapa perubahan kecil juga tetap berlangsung seumur hidup.
3. Memiliki
Kemampuan Berpikir yang Baru
Peningkatan sambungan saraf
memicu otak remaja jadi lebih efektif dalam mengolah informasi. Remaja mulai
memiliki kemampuan komputasi dan belajar mengambil keputusan layaknya orang
dewasa. Akan tetapi, remaja masih terlalu dipengaruhi oleh emosi karena otaknya
lebih mengandalkan sistem limbik yang mengedepankan emosi ketimbang korteks
prefrontal yang mengolah informasi secara rasional.
4. Rewel
Kepada Orangtua
Remaja berada di tengah
kesenangan memperoleh keterampilan baru yang luar biasa, terutama yang
berkaitan dengan perilaku sosial dan pemikiran abstrak. Tapi karena belum
pandai menggunakan, remaja harus melakukan percobaan. Terkadang orangtuanya
sendiri dijadikan sebagai kelinci percobaan.
Banyak remaja melihat konflik sebagai
sarana untuk mengekspresikan diri dan mengalami kesulitan untuk berfokus pada
hal-hal abstrak atau memahami sudut pandang orang lain. Pada dasarnya remaja
masih membutuhkan orangtuanya dengan kematangan emosional agar membantunya
tetap tenang.
5. Gejolak
Emosi yang Intens
Masa pubertas merupakan
awal dari perubahan besar dalam sistem limbik, yaitu bagian otak yang tidak
hanya membantu mengatur detak jantung dan kadar gula darah, tetapi juga penting
untuk membentuk memori dan emosi. Selama masa remaja, sistem limbik lebih
banyak mendominasi dibandingkan korteks prefrontal yang berhubungan dengan
kemampuan perencanaan, pengendalian dorongan dan daya nalar yang lebih tinggi.
Bersamaan dengan perubahan
hormonal, dampak dominasi sistem limbik ini membuat emosi yang dialami terasa
lebih intens, misalnya kemarahan, ketakutan, agresi, kegembiraan dan daya tarik
seksual.
6. Sangat
Memperhatikan Kata Teman
Karena remaja mulai mampu
berpikir abstrak, kecemasan sosialnya pun meningkat. Demikian menurut
penelitian yang dimuat jurnal Annals of New York Academy of Sciences. Penalaran
yang abstrak memungkinkan remaja memperhatikan bagaimanakah dirinya dilihat
oleh orang lain.
Remaja dapat
menggunakan keterampilan baru untuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan
tentang dirinya. Itulah mengapa remaja sangat mendengarkan pendapat temannya.
Namun di sisi lain, teman juga membantu para remaja mempelajari keterampilan
baru seperti negosiasi, kompromi dan perencanaan kelompok.
7. Tak
Pandai Mengukur Risiko
Kewaspadaan remaja bisa
dibilang lambat bergarak karena dominasi sistem limbik yang mengedepankan
emosi. Akibatnya remaja memiliki toleransi risiko yang lebih tinggi dibanding
orang dewasa. Secara keseluruhan, perubahan ini dapat membuat remaja rentan
terlibat perilaku berisiko seperti mencoba narkoba, terlibat perkelahian atau
perilaku lain yang tidak aman.
8.
Membutuhkan Figur Orangtua
Sebuah survei terhadap remaja
mengungkapkan bahwa 84 persen remaja memikirkan ibunya dan 89 persen memikirkan
ayahnya. Lebih dari tiga perempat remaja suka menghabiskan waktu bersama
orangtuanya. Sebanyak 79 persen senang bercengkrama dengan ibu dan 76 persen
dengan ayah. Remaja masih membutuhkan orangtuanya untuk mempelajari
bagaimanakah hidup mandiri dan menyiapkan diri untuk membentuk rumah tangganya
sendiri.
9. Butuh
Tidur Lebih Banyak
Mitosnya adalah remaja
lebih banyak membutuhklan waktu tidur ketimbang saat masih kanak-kanak. Namun
sebenarnya kebanyakan masalah tidur yang dialami remaja adalah pergeseran ritme
sirkadian selama masa remaja. Remaja cenderung bangun siang namun terjaga
sampai larut malam. Ditambah banyaknya kegiatan, banyak remaja akhirnya sampai
kurang tidur. Akibatnya dapat memperburuk pengambilan keputusan. Tidur yang
cukup dapat membantu otak remaja bekerja lebih optimal.
10. Narsis
Perubahan hormon saat
pubertas berdampak besar bagi otak, salah satunya adalah memacu reseptor oksitosin
diproduksi lebih banyak. Oksitosin meningkatkan kepekaan sistem limbik dan
berkaitan dengan perasaan kesadaran diri, sehingga membuat remaja merasa
seolah-olah ada orang yang mengawasi. Hal ini mungkin membuat remaja jadi
tampak egois. Di sisi lain, perubahan hormon dalam otak remaja ini juga dapat
membuat remaja menjadi lebih idealis. Sampai otaknya berkembang untuk
menghadapi isu-isu yang bersifat abu-abu, remaja cenderung berpikir secara
sepihak.
0 komentar:
Posting Komentar