I’m just glad because you are the ones that I
spent three years of my life with, met six days in a week, and interacted for
almost nine hours in a day. If our three-year class could speak, it were able
to tell the whole world all of our funny, beautiful, amazing, crazy, unforgettable
memories better than me.
Pertemuan kita tidaklah mudah. Masing-masing
dari kita tentu masih ingat bagaimana mengerjakan soal tes masuk madrasah.
Kemudian berlanjut pada suatu hari duduk di suatu kelas yang asing mengerjakan
soal psikotes bersama beberapa belas orang yang kau tak tahu nantinya akan
menjadi teman sekelasmu. Yang mungkin saja, orang yang duduk di belakangmu saat
itu akan menjadi teman seperjuanganmu selama tiga tahun berikutnya. Setelah
memastikan nama kita tercantum dalam daftar nama di pintu, sambil menunggu
jadwal wawancara bahasa Inggris dengan Mr Heli yang nantinya menjadi salah satu
guru favorit kita, mungkin kalian sudah berbasa-basi berkenalan menghabiskan
waktu dengan seseorang di sana. Kita hanya tak tahu, teman yang kita tanyakan
namanya itu kemudian akan menjadi teman dekat kita nantinya. Ketika kita gugup
menunggu giliran wawancara bahasa Arab dengan Bapak Jazuli, kita hanya tak tahu
bahwa orang yang juga sibuk menghapalkan jawaban di samping kita adalah juga
orang yang nantinya berkontribusi besar dalam mewarnai hidup kita. Kita hanya
tak tahu.
Pada akhirnya, Allah mempertemukan kita dalam
suatu kelas pagi itu, kelas yang terletak paling ujung di sekolah, kelas yang
terpisah dari kelas-kelas lainnya, dan kelas yang menjadi saksi bisu cerita kita.
Maka mulailah kita memperkenalkan diri malu-malu di depan dua puluh dua teman
dan seorang guru. Mengapa juga kita harus malu-malu menyebutkan nama, tempat tinggal,
hobi, dan cita-cita jika saja kita tahu bahwa mereka yang ada di hadapan kita nantinya
adalah keluarga? Sekali lagi, saat itu kita belum tahu.
Setelah satu tahun berpisah, mari kita
bersihkan debu-debu yang mungkin sedikit menutupi kenangan kita. Aku tahu,
kenangan itu akan tetap terpatri di sana meski pun kita sudah jarang
menengoknya. Kenangan-kenangan yang dimulai semenjak empat tahun yang lalu,
biarlah tetap di tempatnya. Biarlah kenangan itu muncul pada suatu waktu yang
tepat. Pada suatu waktu entah berapa tahun mendatang, ketika kita bersama-sama
berkumpul dalam suatu acara mengaminkan doa untuk teman kita yang berbahagia
menemukan jodohnya. Atau beberapa belas tahun kemudian ketika kita sudah saling
memiliki pekerjaan lalu reuni di salah satu tempat di bumi ini. Atau mungkin, lebih
dari itu, ketika kita mendongengi putra-putri kita bahwa kita memiliki dua
puluh dua sahabat yang dengan mereka kita menghabiskan masa remaja kita. Yah,
sort of like that. Tetapi sebelum menunggu waktu itu tiba, aku ingin menguak
sedikit kenangan yang berkali-kali mencuat mengajakku untuk bernostalgia. Who knows you miss us so bad?
Idul Adha
selalu menjadi lebih indah semenjak aku bertemu dengan kalian. Semenjak itu
pula aku tahu bahwa berpasrah diri terhadap segala perjuangan terbaik akan
berakhir dengan sangat indah. Don’t
ever once underestimate the amount of something! Permadha tiga tahun yang
lalu telah menjadi saksi kunci bahwa jumlah kita yang lebih sedikit daripada
kelas lain tidak lantas membuat kita tertinggal daripada kelas lain. Kekurangan
tidak selalu menjadikan kita lemah. Terkadang dengan kekurangan itulah kita
akan sadar dan berusaha untuk menutupinya dengan kelebihan yang kita miliki
sehingga kita bisa meraih lebih daripada yang lain.
Going the extra
miles. Nggak semua yang kita kerjakan bahkan dengan usaha maksimal
berbuah kemenangan. Bukan berarti juga kita nggak perlu berlatih keras dalam
mencapai segala sesuatu. Kita hanya harus menerima kenyataan, hasil akhir yang
Allah persiapkan untuk kita. Aku masih ingat bagaimana kita berlatih menyanyi
dan deklamasi puisi untuk malam hari Idul Adha itu. Dengan segala persiapan
kita, menggunakan segala kesempatan –bahkan meminta waktu jam pelajaran kimia
untuk berlatih pun kita lakukan namun kita tidak mendapatkan glory waktu itu. Tapi bukankah kita juga
tahu, semangat kita, seperti yang diungkapkan oleh Mr Heli, ketika menyerukan
takbir menyambut hari raya Idul Adha telah mengubah bahkan memberi ending yang manis untuk kita. Suara
takbir yang berasal dari dua puluh tiga siswa MAN 3 Kediri berpartisipasi dalam
memenangkan Arrosyid menjadi juara umum Permadha tahun itu.
Sebagai murid-murid yang berdomisili di kelas
paling pojok, kita akhirnya harus dipertemukan dengan Cambridge yang pernah suatu waktu harus memaksa kita merelakan
libur beberapa hari try out untuk
mengikuti bimbingan belajar. Pernah juga suatu kali kita harus berhadapan
dengan soal-soal IGCSE yang sayangnya hingga saat ini kita tidak tahu bagaimana
hasil tes kita. Jika kelas lain ‘berhak’ mengikuti bimbingan belajar sepulang
sekolah mulai hari Senin hingga Kamis, kita ‘wajib’ mengikuti bimbel mulai hari
Senin hingga Sabtu. Yah, paling nggak kita pernah menjadi murid SMA normal yang
sekali-kali mencuri waktu untuk kabur dari bimbel, kan? Kabur dari bimbingan
belajar sepertinya menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Sebagai sahabat yang baik, tentu kami ingin
mendukung kalian yang pada hari bersejarah, 10 April 2012, mengikuti
pertandingan basket dan sepak bola. Jadi, mulailah kami merencanakan sesuatu
untuk kabur dari bimbel fisika Pak Tulus. Kami sudah siap sedia mengintip dari
balik bangunan baru X-9 dan X-10 di depan kelas kita. Ketika pak Tulus tiba di
depan kelas, otomatis beliau bingung mendapati kelas yang terkunci. Selama
beberapa lama, kami dan Pak Tulus sama-sama teguh pendirian untuk tetap berada
di tempat –kami di tempat persembunyian dan Pak Tulus di depan kelas. Untungnya
kami belajar sopan santun dan bagaimana bersikap hormat terhadap orang yang lebih
tua. Maka, keluarlah kami dari tempat persembunyian dan menyerahkan diri untuk
mengikuti bimbel fisika yang alhamdulillah setelah rayuan kami, para
cewek-cewek, akhirnya Pak Tulus memberi kami waktu lebih awal untuk mengakhiri
bimbel. Maaf dan terima kasih, Bapak!
Kejadian yang selanjutnya terjadi adalah kami
memberi semangat kepada teman-teman cewek yang bermain basket. Meski pun kalah,
we were proud of you! Selanjutnya
kami beralih ke lapangan belakang memberi semangat kepada tiga teman cowok dari
kelas kita dan delapan cowok dari kelas axel yang bermain bola. Meski pun
sekali lagi kami harus menggigit bibir menerima kekalahan, kami nggak akan
pernah melupakan hari bersejarah itu. Hari ketika setelah capek memberi
dukungan dan mendapati bahwa kami tidak bisa masuk kelas karena kuncinya
hilang, haha.
Hari sudah menjelang maghrib dan akhirnya kami
menemukan fakta bahwa kunci kelas tertinggal di lapangan basket yang sudah
dikunci. Seingatku, Chabib sudah hampir naik pagar untuk bisa masuk ke lapangan
basket namun akhirnya lebih memilih meminjam kunci lapangan. Yah, begitulah
pada akhirnya kami mengakhiri hari bersama dan pulang sudah pukul lima sore
lebih. Boleh nih diceritakan ke teman-teman yang lain.
Mengungkit kenangan, mari kita berjalan-jalan!
Dua kenangan yang nggak terlupakan itu adalah, yang pertama: jalan-jalan ke
Blitar. Dulu, waktu Ibu Pundhi masih belum berkeluarga, kami pernah nekat
jalan-jalan ke rumahnya Pundhi. Jadi, memanfaatkan hari luang karena jadwal UAS
kita sudah lebih duluan berakhir, kami memutuskan untuk pergi ke stasiun pada
pagi harinya dan cus ke Blitar naik kereta api. Bisa dibilang cukup nekat
karena kami belum fix libur hari itu.
Boleh dibilang nekat juga ketika kami berdelapan belas memenuhi angkot untuk
mengangkut kami dari stasiun ke perpustakaan Bung Karno. Bisa dibayangkan
bagaimana penuh sesaknya. Selanjutnya, kami menginap di rumah Pundhi, membuat
repot keluarga Pundhi, hehe. Maaf.
Bener kalo orang Blitar bilang air rumahnya
dingin. Karena tepat seusai subuh kami hendak berjalan-jalan ke alun-alun, kami
mendapati POM Bensin di depan rumah Pundhi penuh dibalut kabut. Such an amazing scenery! Sayangnya,
perjalanan kami di Blitar harus berakhir dengan tidak enak ketika wali kelas
kami, Bapak Isro’ meminta kami pulang saat itu juga karena ada beberapa dari
kami yang harus mengikuti remedial. Sungguh, kami mendapat teguran karena
kebandelan kami. Akhirnya, cewek-cewek ini harus menyudahi liburan ekstrem ini
dengan pulang mendadak naik bus. Aku bahkan harus berdiri sepanjang perjalanan
mengingat bus yang kami tumpangi penuh sesak. Meski pun begitu, kami tahu bahwa
Pak Isro’ sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kami. Maaf jika kami sering
melakukan kesalahan dan terima kasih banyak Bapak sudah membimbing dan menemani
perjalanan kami selama dua tahun awal yang penuh berisi keluhan dari kami
hingga kami lulus dari MAN 3. Setiap dari kami tentu tak bisa menyampaikan rasa
terima kasih ini hanya lewat tulisan. Kami benar-benar bersyukur bahwa Bapak
pernah menjadi wali kelas kami. Sekali lagi, terima kasih, Bapak Isro’.
Semoga ini bukan kenangan yang terakhir,
karena aku masih ingin menjelajahi wisata alam Indonesia seperti halnya ketika
kita mendaki puncak Bromo. Meski pun Pundhi tidak bisa ikut bersama kita karena
sudah menikah (Barakallahu laka wa baraka
'alaik, wa jama'a bainakuma fi khair), kita masih berharap suatu
saat nanti, ketika kita mendapatkan kesempatan untuk bareng-bareng lagi
mengunjungi salah satu bumi Indonesia yang breath-taking,
kamu bisa ikut, Pun.
Rasanya baru kemarin kita ke sana, sekarang
kita udah pisah aja menyebar di pulau Jawa. Masih ingat, kan, gimana kita
menunggu sunrise dengan baju tebal
berselimut jaket dan berhangatkan api unggun walaupun mendunglah yang ternyata
menyapa kita pada pagi itu? Masih ingat juga kan bagaimana kita sibuk berpose
di bukit-bukit hijau Teletubbies di sana? Masih ingatkah kalian bagaimana
takjubnya kita melihat pemandangan seindah itu? Yang jelas, kalian tentu masih
ingat sekali bagaimana perjuangan mendaki, menapaki ratusan anak tangga untuk
sampai ke ketinggian 2.329 meter. Well, I was just glad I had passed the
moment, the struggle, together with you.
Aku hanya nggak ingin, persahabatan kita
terputus setelah berhasil mencapai puncak Bromo, terpesona melihat awan-awan
yang berarak seolah-olah dekat sekali dengan kita. Persahabatan kita harus
tetep kayak liriknya Endank Soekamti: kita seperti angka delapan, selau
nyambung terus, tak pernah terputus. Seperti juga dengan judul postingan kali
ini, jarak puluhan kilometer mungkin memisahkan raga kita, namun semoga jarak
hati di antara kita masih berdekatan sepanjang 22 cm, masing-masing terpisah
satu sentimeter, karena pastinya ruang hati kalian nggak sepenuhnya terisi
untuk kita, kan? Ada orang tua, saudara, keluarga, jodoh, dan yang terpenting
dan tak boleh terlupakan: Allah SWT yang telah mempertemukan kita.
Pengandaianku maksa, ya? Ah nggak papa, dipaksain aja diterima ya biar aku
seneng, hehe.
So, terima kasih sudah membaca tulisan saya hingga
akhir yang panjangnya mencapai 1600 kata lebih huahaha. Semoga kita bisa
jalan-jalan lagi bareng tahun ini, yak! I’m
waiting to see you, I’m wating to have fun with you all my beloved classmates,
Arrosyid J
Yang merindukan kalian,
Absen 22
5 komentar:
HIks hiks ..
aku terharu baca tulisamu .. :')
miss u all :-*
zuh,,zuh,,bukane pas permadha kita msh ber-23 bro? :3
aku salah tulis ye? bagian ndi?
iyo..sg permadha kuwi lo,,sg takbir.. bukane kita sik 23?
oh I see iyo iyo bener
Posting Komentar