Top Menu

Kamis, 26 Juni 2014

22 cm


I’m just glad because you are the ones that I spent three years of my life with, met six days in a week, and interacted for almost nine hours in a day. If our three-year class could speak, it were able to tell the whole world all of our funny, beautiful, amazing, crazy, unforgettable memories better than me.
Pertemuan kita tidaklah mudah. Masing-masing dari kita tentu masih ingat bagaimana mengerjakan soal tes masuk madrasah. Kemudian berlanjut pada suatu hari duduk di suatu kelas yang asing mengerjakan soal psikotes bersama beberapa belas orang yang kau tak tahu nantinya akan menjadi teman sekelasmu. Yang mungkin saja, orang yang duduk di belakangmu saat itu akan menjadi teman seperjuanganmu selama tiga tahun berikutnya. Setelah memastikan nama kita tercantum dalam daftar nama di pintu, sambil menunggu jadwal wawancara bahasa Inggris dengan Mr Heli yang nantinya menjadi salah satu guru favorit kita, mungkin kalian sudah berbasa-basi berkenalan menghabiskan waktu dengan seseorang di sana. Kita hanya tak tahu, teman yang kita tanyakan namanya itu kemudian akan menjadi teman dekat kita nantinya. Ketika kita gugup menunggu giliran wawancara bahasa Arab dengan Bapak Jazuli, kita hanya tak tahu bahwa orang yang juga sibuk menghapalkan jawaban di samping kita adalah juga orang yang nantinya berkontribusi besar dalam mewarnai hidup kita. Kita hanya tak tahu.
Pada akhirnya, Allah mempertemukan kita dalam suatu kelas pagi itu, kelas yang terletak paling ujung di sekolah, kelas yang terpisah dari kelas-kelas lainnya, dan kelas yang menjadi saksi bisu cerita kita. Maka mulailah kita memperkenalkan diri malu-malu di depan dua puluh dua teman dan seorang guru. Mengapa juga kita harus malu-malu menyebutkan nama, tempat tinggal, hobi, dan cita-cita jika saja kita tahu bahwa mereka yang ada di hadapan kita nantinya adalah keluarga? Sekali lagi, saat itu kita belum tahu.
Setelah satu tahun berpisah, mari kita bersihkan debu-debu yang mungkin sedikit menutupi kenangan kita. Aku tahu, kenangan itu akan tetap terpatri di sana meski pun kita sudah jarang menengoknya. Kenangan-kenangan yang dimulai semenjak empat tahun yang lalu, biarlah tetap di tempatnya. Biarlah kenangan itu muncul pada suatu waktu yang tepat. Pada suatu waktu entah berapa tahun mendatang, ketika kita bersama-sama berkumpul dalam suatu acara mengaminkan doa untuk teman kita yang berbahagia menemukan jodohnya. Atau beberapa belas tahun kemudian ketika kita sudah saling memiliki pekerjaan lalu reuni di salah satu tempat di bumi ini. Atau mungkin, lebih dari itu, ketika kita mendongengi putra-putri kita bahwa kita memiliki dua puluh dua sahabat yang dengan mereka kita menghabiskan masa remaja kita. Yah, sort of like that. Tetapi sebelum menunggu waktu itu tiba, aku ingin menguak sedikit kenangan yang berkali-kali mencuat mengajakku untuk bernostalgia. Who knows you miss us so bad?
Idul Adha selalu menjadi lebih indah semenjak aku bertemu dengan kalian. Semenjak itu pula aku tahu bahwa berpasrah diri terhadap segala perjuangan terbaik akan berakhir dengan sangat indah. Don’t ever once underestimate the amount of something! Permadha tiga tahun yang lalu telah menjadi saksi kunci bahwa jumlah kita yang lebih sedikit daripada kelas lain tidak lantas membuat kita tertinggal daripada kelas lain. Kekurangan tidak selalu menjadikan kita lemah. Terkadang dengan kekurangan itulah kita akan sadar dan berusaha untuk menutupinya dengan kelebihan yang kita miliki sehingga kita bisa meraih lebih daripada yang lain.
Going the extra miles. Nggak semua yang kita kerjakan bahkan dengan usaha maksimal berbuah kemenangan. Bukan berarti juga kita nggak perlu berlatih keras dalam mencapai segala sesuatu. Kita hanya harus menerima kenyataan, hasil akhir yang Allah persiapkan untuk kita. Aku masih ingat bagaimana kita berlatih menyanyi dan deklamasi puisi untuk malam hari Idul Adha itu. Dengan segala persiapan kita, menggunakan segala kesempatan –bahkan meminta waktu jam pelajaran kimia untuk berlatih pun kita lakukan namun kita tidak mendapatkan glory waktu itu. Tapi bukankah kita juga tahu, semangat kita, seperti yang diungkapkan oleh Mr Heli, ketika menyerukan takbir menyambut hari raya Idul Adha telah mengubah bahkan memberi ending yang manis untuk kita. Suara takbir yang berasal dari dua puluh tiga siswa MAN 3 Kediri berpartisipasi dalam memenangkan Arrosyid menjadi juara umum Permadha tahun itu.
Sebagai murid-murid yang berdomisili di kelas paling pojok, kita akhirnya harus dipertemukan dengan Cambridge yang pernah suatu waktu harus memaksa kita merelakan libur beberapa hari try out untuk mengikuti bimbingan belajar. Pernah juga suatu kali kita harus berhadapan dengan soal-soal IGCSE yang sayangnya hingga saat ini kita tidak tahu bagaimana hasil tes kita. Jika kelas lain ‘berhak’ mengikuti bimbingan belajar sepulang sekolah mulai hari Senin hingga Kamis, kita ‘wajib’ mengikuti bimbel mulai hari Senin hingga Sabtu. Yah, paling nggak kita pernah menjadi murid SMA normal yang sekali-kali mencuri waktu untuk kabur dari bimbel, kan? Kabur dari bimbingan belajar sepertinya menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Sebagai sahabat yang baik, tentu kami ingin mendukung kalian yang pada hari bersejarah, 10 April 2012, mengikuti pertandingan basket dan sepak bola. Jadi, mulailah kami merencanakan sesuatu untuk kabur dari bimbel fisika Pak Tulus. Kami sudah siap sedia mengintip dari balik bangunan baru X-9 dan X-10 di depan kelas kita. Ketika pak Tulus tiba di depan kelas, otomatis beliau bingung mendapati kelas yang terkunci. Selama beberapa lama, kami dan Pak Tulus sama-sama teguh pendirian untuk tetap berada di tempat –kami di tempat persembunyian dan Pak Tulus di depan kelas. Untungnya kami belajar sopan santun dan bagaimana bersikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Maka, keluarlah kami dari tempat persembunyian dan menyerahkan diri untuk mengikuti bimbel fisika yang alhamdulillah setelah rayuan kami, para cewek-cewek, akhirnya Pak Tulus memberi kami waktu lebih awal untuk mengakhiri bimbel. Maaf dan terima kasih, Bapak!
Kejadian yang selanjutnya terjadi adalah kami memberi semangat kepada teman-teman cewek yang bermain basket. Meski pun kalah, we were proud of you! Selanjutnya kami beralih ke lapangan belakang memberi semangat kepada tiga teman cowok dari kelas kita dan delapan cowok dari kelas axel yang bermain bola. Meski pun sekali lagi kami harus menggigit bibir menerima kekalahan, kami nggak akan pernah melupakan hari bersejarah itu. Hari ketika setelah capek memberi dukungan dan mendapati bahwa kami tidak bisa masuk kelas karena kuncinya hilang, haha.


Hari sudah menjelang maghrib dan akhirnya kami menemukan fakta bahwa kunci kelas tertinggal di lapangan basket yang sudah dikunci. Seingatku, Chabib sudah hampir naik pagar untuk bisa masuk ke lapangan basket namun akhirnya lebih memilih meminjam kunci lapangan. Yah, begitulah pada akhirnya kami mengakhiri hari bersama dan pulang sudah pukul lima sore lebih. Boleh nih diceritakan ke teman-teman yang lain.
Mengungkit kenangan, mari kita berjalan-jalan! Dua kenangan yang nggak terlupakan itu adalah, yang pertama: jalan-jalan ke Blitar. Dulu, waktu Ibu Pundhi masih belum berkeluarga, kami pernah nekat jalan-jalan ke rumahnya Pundhi. Jadi, memanfaatkan hari luang karena jadwal UAS kita sudah lebih duluan berakhir, kami memutuskan untuk pergi ke stasiun pada pagi harinya dan cus ke Blitar naik kereta api. Bisa dibilang cukup nekat karena kami belum fix libur hari itu. Boleh dibilang nekat juga ketika kami berdelapan belas memenuhi angkot untuk mengangkut kami dari stasiun ke perpustakaan Bung Karno. Bisa dibayangkan bagaimana penuh sesaknya. Selanjutnya, kami menginap di rumah Pundhi, membuat repot keluarga Pundhi, hehe. Maaf.
Bener kalo orang Blitar bilang air rumahnya dingin. Karena tepat seusai subuh kami hendak berjalan-jalan ke alun-alun, kami mendapati POM Bensin di depan rumah Pundhi penuh dibalut kabut. Such an amazing scenery! Sayangnya, perjalanan kami di Blitar harus berakhir dengan tidak enak ketika wali kelas kami, Bapak Isro’ meminta kami pulang saat itu juga karena ada beberapa dari kami yang harus mengikuti remedial. Sungguh, kami mendapat teguran karena kebandelan kami. Akhirnya, cewek-cewek ini harus menyudahi liburan ekstrem ini dengan pulang mendadak naik bus. Aku bahkan harus berdiri sepanjang perjalanan mengingat bus yang kami tumpangi penuh sesak. Meski pun begitu, kami tahu bahwa Pak Isro’ sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kami. Maaf jika kami sering melakukan kesalahan dan terima kasih banyak Bapak sudah membimbing dan menemani perjalanan kami selama dua tahun awal yang penuh berisi keluhan dari kami hingga kami lulus dari MAN 3. Setiap dari kami tentu tak bisa menyampaikan rasa terima kasih ini hanya lewat tulisan. Kami benar-benar bersyukur bahwa Bapak pernah menjadi wali kelas kami. Sekali lagi, terima kasih, Bapak Isro’.
Semoga ini bukan kenangan yang terakhir, karena aku masih ingin menjelajahi wisata alam Indonesia seperti halnya ketika kita mendaki puncak Bromo. Meski pun Pundhi tidak bisa ikut bersama kita karena sudah menikah (Barakallahu laka wa baraka 'alaik, wa jama'a bainakuma fi khair), kita masih berharap suatu saat nanti, ketika kita mendapatkan kesempatan untuk bareng-bareng lagi mengunjungi salah satu bumi Indonesia yang breath-taking, kamu bisa ikut, Pun.
Rasanya baru kemarin kita ke sana, sekarang kita udah pisah aja menyebar di pulau Jawa. Masih ingat, kan, gimana kita menunggu sunrise dengan baju tebal berselimut jaket dan berhangatkan api unggun walaupun mendunglah yang ternyata menyapa kita pada pagi itu? Masih ingat juga kan bagaimana kita sibuk berpose di bukit-bukit hijau Teletubbies di sana? Masih ingatkah kalian bagaimana takjubnya kita melihat pemandangan seindah itu? Yang jelas, kalian tentu masih ingat sekali bagaimana perjuangan mendaki, menapaki ratusan anak tangga untuk sampai ke ketinggian 2.329 meter. Well, I was just glad I had passed the moment, the struggle, together with you.
Aku hanya nggak ingin, persahabatan kita terputus setelah berhasil mencapai puncak Bromo, terpesona melihat awan-awan yang berarak seolah-olah dekat sekali dengan kita. Persahabatan kita harus tetep kayak liriknya Endank Soekamti: kita seperti angka delapan, selau nyambung terus, tak pernah terputus. Seperti juga dengan judul postingan kali ini, jarak puluhan kilometer mungkin memisahkan raga kita, namun semoga jarak hati di antara kita masih berdekatan sepanjang 22 cm, masing-masing terpisah satu sentimeter, karena pastinya ruang hati kalian nggak sepenuhnya terisi untuk kita, kan? Ada orang tua, saudara, keluarga, jodoh, dan yang terpenting dan tak boleh terlupakan: Allah SWT yang telah mempertemukan kita. Pengandaianku maksa, ya? Ah nggak papa, dipaksain aja diterima ya biar aku seneng, hehe.


So, terima kasih sudah membaca tulisan saya hingga akhir yang panjangnya mencapai 1600 kata lebih huahaha. Semoga kita bisa jalan-jalan lagi bareng tahun ini, yak! I’m waiting to see you, I’m wating to have fun with you all my beloved classmates, Arrosyid J


Yang merindukan kalian,

Absen 22

5 komentar:

Unknown mengatakan...

HIks hiks ..
aku terharu baca tulisamu .. :')

miss u all :-*

Iva Firdayanti mengatakan...

zuh,,zuh,,bukane pas permadha kita msh ber-23 bro? :3

azzuhruf mengatakan...

aku salah tulis ye? bagian ndi?

Iva Firdayanti mengatakan...

iyo..sg permadha kuwi lo,,sg takbir.. bukane kita sik 23?

azzuhruf mengatakan...

oh I see iyo iyo bener

Posting Komentar